SEKTOR INDUSTRI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah industri mempunyai
dua arti: pertama, industri dapat berarti himpunan perusahaan - perusahaan
sejenis. Dalam konteks ini sebutan industri kosmetik, misalnya berarti himpunan
perusahaan penghasil produk – produk kosmetik, industri tekstil maksudnya
himpunan pabik atau perusahaan tekstil. Kedua, industri dapat pula merujuk ke
suatu sektor ekonomi yang di dalamnya terdapat kegiatan produktif yang
mengelolah bahan mentah menjadi barang jadi atau barang setengah jadi. Kegiatan
pengelolahan itu sendiri dapat bersifat masinal, elektrikal, atau bahkan
manual.
Dalam buku ini, istilah
industri akan digunakan untuk kedua pengertian tadi. Untuk yang pertama,
industri dalam arti himpunan perusahaan – perusahaan sejenis, kata industri
akan selalu dirangkai dengan kata yang menerangkan jenis industrinya, misalnya
industri kosmetika, induatri pakaian jadi, industri sepatu dan sebagainya.
Sedangkan untuk yang kedua, istilah sektor di dalam bab ini maksudnya adalah
sektor industri pengolahan (manufakturing), yakni sebagai salah satu sektor
produksi atau lapangan usaha dalam perhitungan pendapatan nasional menurut
pendekatan produksi.
Di era globalisasi ini,
negara – negara di berbagai belahan dunia berlomba – lomba untuk memajukan
seluruh sektor yang terdapat di negara tersebut dan memajukan nama negara
tersebut, tidak terkecuali dalam sektor industri. Saat ini sektor perindustrian
di seluruh dunia sangat berkembang pesat. Hal ini dapat dilihat dari
perkembangan teknologi dalam idng perindustrian yang semakin lama semakin
canggih. Akan tetapi meskipun banyak sekali kelebihan – kelebihan yang
dirasakan dalam sektor industri ini, ternyata sektor perindustrian juga
memiliki dampak yang negatif.
Begitu pula di Indonesia,
Indonesia merupakan negara yang menjadikan sektor industri menjadi mata
pencaharian sebagian besar penduduknya. Hal ini di buktikan dari banyaknya
industri – industri yanga menggunakan teknologi yang cukup baik sehingga tidak
sedikit sektor industri di Indonesia dapat menembus pasar asing.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 INDUSTRI DAN
INDUSTRIALISASI
Sektro industri diyakini
sebagai sektor yang dapat memimpin sektor-sektor lain dalam sebuah perekonomian
menuju kemajuan. Produk-produk industrial selalu memiliki “dasar tukar“(terms
of trade) yang tinggi atau lebih menguntungkan serta menciptakan nilai tambah
yang lebih besar dibandingkan produk-produk sektor lain. Berusaha dalam bidang
industri dan berniaga hasil-hasil indsutri juga lebih diminati karena proses
produksi serta penanganan produknya lebih bisa dikendalikan oleh manusia, tidak
terlalu bergantung pada alam semisal musim atau keadaan cuaca. Karena kelebihan-kelebihan
sektor industri sebagaimana yang dipaparkan tadi, maka industrialisasi dianggap
sebagai “obat mujarab“untuk mengatasi masalah pembangunan ekonomi di
Negara-negara berkembang. Hasil pembangunan paling nyata yang dapat dilihat di
Negara-negara maju dan kemudian banyak dijadikan cermin pola pembangunan oleh
Negara-negara berkembang adalah kadar keindustrian perekonomian yang dianggap
merupakan sumber kekayaaan, kekuatan, dan keadaan seimbang Negara-negara maju.
2.1.1
2.1.1 Argumentasi Industrialisasi
Dalam implementasinya ada
empat argumentasi atau basis teori yang melandasi suatu kebijaksanaan
industrialisasi. Teori-teori dimaksud ialah:
1. Argumentasi keunggulan
komparatif,
2. Argumentasi keterkaitan
industrial,
3. Argumentasi penciptaan
kesempatan kerja, dan
4. Argumentasi loncatan
teknologi.
Bagi Negara yang menganut teori argumentasi keunggulan
komparatif akan mengembangkan subsektor atau jenis-jenis industri yang memiliki
keunggulan komparatif. Untuk Negara yang menganut teori argumentasi keterkaitan
industrial akan mengutamakan pengembangan-pengembangan industri dibidang
ekonomi. Bagi Negara yang dilandasi argumentasi penciptaan kesempatan kerja,
biasanya Negara ini memprioritaskan pengembangan industri-industri yang mampu
menyerap banyak tenaga kerja. Salah satu jenisnya yaitu padat karya ataupun
industri kecil. Sedangkan Negara dengan argumentasi loncatan teknologi
mempercayai dengan menggunakn teknologi tinggi maka akan memberikan nilai
tambah yang sangat besar, dan harus mampu diiringi dengan kemajuan teknologi
disektor lain.
Pola pengembangan sektor
industri suatu Negara sangat dipengaruhi oleh argumentasi yang melandasinya.
Negara yang bertolak dari argumentasi keterkaitan industrial akan lebih
mengutamakan pengembangan bidang-bidang industri yang paling luas terkait
perkembangan bidang-bidang kegiatan atau sektor-sektor ekonomi lain.
2.1.2 2.1.1
Strategi Industrialisasi
Jika dalam implementasi
kebijaksanaan terdapat empat argumentasi, maka dalam hal strategi
industrialisasi dikenal dua macam pola. Kedua pola dimaksud ialah subsitusi
impor (import substitution) dan promosi ekspor (export promotion).
Sebagaimana dalam hal argumentasi-arguemntasi tadi, masing-masing
strategi ini juga mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pola substitusi impor,
dikenal juga dengan istilah startegi “orientasi ke dalam“ atau inward looking
strategy, ialah suatu strategi industrialisasi yang mengutamakan pengembangan
jenis-jenis industri untuk menggantikan kebutuhan akan impor produk-produk
sejenis. Pada tahap awal-awal, yang dikembangkan biasanya adalah
industri-industri ringan yang menghasilkan barang-barang konsumtif. Sedangkan
startegi promosi ekspor, kadang-kadang dijuluki strategi “ orientasi ke luar “
atau outward looking strategi, ialah strategi industrialisasi yang mengutamakan
pengembangan jenis-jenis industri yang menghasilkan produk-produk untuk
diekspor.
2.2 SEJARAH DAN KLASIFIKASI
INDUSTRI DI INDONESIA
Sebelum membahasnya lebih
jauh dan dalam, ada baiknya kita mengetahui sekilas sejarah sektor industri dan
klasifikasinya di Indonesia. Pengenalan akan suatu sejarah, betapapun
membosankan, senantiasa berguna untuk memahami apa yang berlangsung sekarang
dan mengapa demikian. Sedangkan pengenalan akan suatu klasifikasi bermanfaat
untuk mengingatkan dalam konteks apa kita membicarakan sesuatu tersebut.
2.2.1 2.2.1
Lintasan Sejarah Sektor Industri
Pada sekitar tahun 1920-an
industri-industri modern di Indonesia hampir semuanya dimilik oleh orang asing
meskipun jumlahnya relative sedikit. Industri kecil yang ada pada masa itu hanya
berupa industry-industri rumah tangga seperti penggilingan padai, tekstil, dan
sebagainya yang tidak terkoordinasi. Menurut sensus industri kolonial pertama
(1939), industry-industri yang ada ketika itu telah memperkerjakan tenaga kerja
sebanyak 173 ribu orang yang bergerak dalam bidang makanan. Sesudah tahun 1957
sektor industri mengalami stagnasi dan perekonomian mengalami masa teduh.
Sepangjang tahun 1960 sektor industri praktis tidak seimbang. Selain akibat
situasi politik yang selalu bergejolak, juga disebabkan karena kelangkaan modal
dan tenaga ahli serta trampil.
2.2.2 2.2.2
Klasifikasi Industri
Industri dapat
digolong-golongkan berdasarkan beberapa sudut tinjaun atau pendekatan. Di
Indonesia, industri digolong-golongkan antara lain berdasarkan kelompok komoditas,
berdasarkan skala usaha, dan berdasarkan hubungan arus produknya.
Untuk keperluan
perencanaan anggaran negara dan analistis pembangunan pemerintah membagi sektor
industri penggolongan menjadi tiga subsektor, yaitu:
1. Subsektor industri
pengolahan nonmigas.
2. Subsektor pengilangan
minyak bumi.
3. Subsektor pengolahan gas
alam cair.
Sedangkan untuk keperluan
pengembangan sektor industri sendiri (industrialisasi) serta berkaitan dengan
administrasi Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Industri di Indonesia
digolong-golongkan berdasarkan hubungan arus produknya menjadi:
1. Industri hulu, yang terdiri atas:
·
Industri kimia dasar
Misalnya seperti industri semen, obat-obatan,
kertas, pupuk, dll.
·
Industri mesin, logam dasar, dan elektronika
Misalnya seperti industri pesawat terbang,
kendaraan bermotor, tekstil, dll.
2.
Industri hilir, yang terdiri atas:
·
Aneka industry
Misalnya seperti industri pakaian, industri
makanan dan minuman, dll.
·
Industri kecil.
Contoh seperti industri roti, kompor minyak,
makanan ringan,es, minyak goreng curah, dll.
2.3 MAKROEKONOMI SEKTOR
INDUSTRI
Perkembangan sektor
industri sejak order baru, atau tepatnya semasa pembangunan jangka panjang
tahap pertama, sangat mengesankan. Hal itu dapat dilihat dari berbagai ukuran
perbandingan seperti jumlah unit usaha atau perusahaan, jumlah tenaga kerja
yang diserap, nilai keluaran (output) yang dihasilkan, sumbangan dalam
perolehan devisa, kontribusi dalam pembentukan pendapatan nasional, serta
tingkat pertumbuhannya.
2.3.1 Perkembangan Jumlah Perusahaan
Unit usaha atau perusahaan
yang bergerak di sektor industri pengolahan di Indonesia menurut catatan
terbaru uang tersedia datanya, yakni data tahun 1993, berjumlah hampir 250
juta. Jenis industri dengan sandi ISIC 37 paling sedikit jumlah perusahaannya,
hanya 120 unit, semuanya tergolong perusahaan besar atau sedang. Walaupun
mayoritas perusahaan bergerak dalam industri kayu dan barang-barang dari kayu,
namun bagi perusahaan-perusahaan besar dan sedang lahan bisnis yang paling
mereka minati adalah industri makanan, minuman, dan tembakau. Pertumbuhan
jumlah perusahaan di sektor industri pengolahan, sayangnya belum diiringi
dengan perbaikan yang cukup berarti dalam hal komposisi skala usaha. Peta skala
usaha industri tidak banyak berubah. Industri-industri berskala kecil dan
industri rumah tangga masih sangat dominan.
2.3.2 2.3.2
Kinerja Ekspor
Industrialisasi di
Indonesia dimulai dengan pengembangan industri-industri substitusi impor.
Produk-produk yang dihasilkan terutama adalah barang-barang konsumtif yang
sebelumnya dibeli dari luar negeri. Barang-barang impor dikenal tarif bea masuk
yang tinggi, sekaligus juga masih dibebani pajak penjualan barang impor.
Komoditas ekspor utama produk-produk industri Indonesia adalah kayu lapis,
pakaian jadi, tekstil, karet olahan, dan kayu olahan lain. Nilai ekspor
gabungan kelima produk ini dalam tahun 1995 mencapai US$11 miliar, hampir
separuh dari nilai ekspor produk-produk industri.
2.3.3 2.3.3
Kinerja Pendapatan
Perkembangan sektor
industri semakin sangat impresif apabila dilihat dari kinerjanya dalam segi
pendapatan. Produk industri pengolahan yang hanya bernilai Rp. 251 miliar pada
tahun 1969 berkembang menjadi Rp. 890 miliar pada tahun 1974 atau jika diukur
berdasarkan tingkat harga konstan tahun 1973 dari Rp. 399 miliar berkembang
menjadi Rp. 755 miliar. Bidang-bidang industri lain,yang peranannya sangat
besar dalam membentuk pendapatan total, secara beturut-turut adalah kelompok
industri tekstil, pakaian jadi, dan kulit, industri kimia dan barang-barang
dari bahan kimia, minyak bumi, batu bara, karet, dan plastik. Besar kecilnya
peranan antarkelompok industri dalam hal membentuk pendapatan agaknya tidak
terlalu ditetntukan oleh banyak sedikitnya jumlah unit usaha dari gabungan
seluruh skala industri, melainkan lebih ditentukan oleh banyak sedikitnya
jumlah perusahaan berskala besar dan sedang saja. Perkembangan mengesankan
sektor industri kita tak terlepas dari kebijaksanaan sektoral pembangunan
ekonomi secara keseluruhan.
2.4 MIKROEKONOMI STRUKTUR
INDUSTRI
Keluaran atau output yang
dihasilkan oleh sebuah perusahaan di sektor industri tidak hanya berupa barang
hasil produksinya. Beberapa jenis industri tertentu menghasilkan pula tenaga
listrik yang kelebihannya kemudian dijual, memperoleh penghasilan dari jasa
industri yang diberikan kepada pihak lain, serta permintaan dari jasa lain yang
sifatnya non industri. Di sisi faktor produksi atau input, biaya yang
dikeluarkan tidak terbatas hanya pada biaya bahan baku atau bahan mentah.
2.4.1 2.4.1 Keluaran, Masukan, Dan Nilai Tambah
Di kalangan industri besar/sedang sendiri sesungguhnya
berlangsung kenaikan efisiensi penciptaan nilai tambah. Paling tidak jika pada
tahun 1973 dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1990. Secara umum, rasio
penciptaan nilai tambah terhadap nilai keluaran (Rasio NI/NK) industri
besar/sedang naik dari 0, 36 menjadi 0, 37. Hampir semua bidang industri
mengalami kenaikan efisiensi, kecuali untuk dua kelompok yaitu industri
makanan, minuman dan tembakau dan industri tekstil, pakaian jadi dan kulit. Yang
paling tinggi kenaikannya adalah industri barang dari logam, mesin dan
peralatannya.
Industri logam dasar memiliki perbandingan antarbidang
yang paling besar. Industri ini juga paling tinggi efisiensi penciptaan nilai
tambah yaitu 0, 42. Industri hilirnya industri barang dari logam, mesin dan
peralatannya duduk di peringkat kedua dengan nilai tambah rata-rata Rp 4, 62
miliar per perusahaan.
2.4.2
2.4.2 Struktur Biaya
Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh
perusahaan-perusahaan di sektor industri pengolahan dapat dirinci atas biaya
bahan baku, biaya bahan lain, biaya sewa kapital dan biaya jasa-jasa. Jumlah
dari keempat macam biaya ini dinamakan biaya masukan.
Nilai keluaran dikurangi biaya masukan disebut
nilai tambah. Di samping itu tentu saja dikeluarkan biaya tenaga kerja yang
terdiri atas gaj, upah serta berbagai tunjangan dan bonus. Biaya tenaga kerja
merupakan bagian dari nilai tambah yang dihasilkan oleh suatu industri. Biaya
masukan ditambah biaya tenaga kerja kemudian membentuk biaya toyal. Selisih
antara nilai keluaran dan biaya total merupakan keuntungan kotor atau profit
bruto.
Dengan menganalisis rasio-rasio, ternyata
efisiensi produksi dan efisiensi penciptaan nilai tambah serta tingkat
perolehan keuntungan perusahaan-perusahaan industri besar/sedang tidak berbanding
lurus dengan besarnya alokasi biaya untuk tenaga kerja. Atas dasar ini, cukup
beralasan untuk menyimpulkan bahwa kinerja industrial tidak berhubungan positif
dengan tingkat kesejahteraan pekerja.
2.4.3 2.4.3 Upah dan Produktifitas Pekerja
Upah yang diterima oleh setiap orang tenaga
kerja di sektor industri pada tahun 1993 rata-rata Rp 3.131.000,00 setahun atau
sekitar Rp 261.000,00 sebulan. Sedangkan pada tahun 1990 sebesar Rp
1.759.000,00 setahun, atau sekitar Rp 145.000,00 per bulan. Dengan perkataan
lain, dalam tiga tahun tingkat upah di sektor industri mengalami kenaikan
nominal sebesar 80%. Kenaikan upah sebesar nominal itu jelas menaikkan juga
tingkat upah riil karena laju inflasi kumulatif selama tiga tahun yang sama
tidak sampai setinggi itu. Dalam kurun waktu yang sama, produktivitas tenaga
kerja sektor industri juga mengalami peningkatan masing-masing dari Rp
26.615.000,00 menjadi Rp 39.277.000,00 jika dihitung terhadap nilai keluaran
(naik 48%) dan dari Rp 9.500.000,00 menjadi Rp14.632.000,00 (naik 54%) jika
dihitung berdasarkan nilai tambah.
Pesan moral seksi ini ialah bahwa menilai
kinerja industri tidak cukup hanya secara makro, melainkan harus disertai
dengan telaah secara makro. Sayangnya, hasil analisis berdasarkan kedua”sisi
kembar” yang sama penting ini acapkali antagonis ata kontradiktif. Akan tetapi
hal itu masih lebih baik daripada banyak menilai berdasarkan salah satu sisi
saja.
2.5 KONSENTRASI, DAYA SAING,
DAN KEBIJAKSANAAN INDUSTRI
Satu isu rawan dalam konteks perindustrian di Indonesia
adalah masalah konsentrasi industri, yang kemudain bernuara ke persoalan
struktur pasar industri yang bersangkutan. Akibat proteksi berkepanjangan
terhadap industri-industri yang tumbuh semasa kebijaksanaan substitusi impor,
diyakini terjadi konsentrasi pada beberapa jenis industri di Indonesia,
sehingga pasarnya berstruktur oligopolistic. Struktur pasar yang oligopolistik
karena proteksi tidak saja merugika pihak konsumen karena mereka harus membayar
harga lebih mahal atas produk-produk industri yang dilindungi, tapi sudah
berdampak tidak mendewasakan industri yang bersangkutan. Proteksi memungkinkan
perusahaan-perusahaan di sektor industri menikmati rente ekonomi secara
berlebihan, efisiensinya merupakan efisiensi yang semu.
2.5.1 2.5.1 Konsentrasi dan Daya Saing
Untuk mengukur kadar konsentrasi suatu
industri ada beberapa alat analisis yang bisa digunakan. Diantaranya yang
paling lazim diterapkan adalah CR-4 dan Herfindahl Index CR-4 (Concentration
Ratio of the 4 Langest Companies) ialah suatu koefisien yang menjelaskan
persentase penguatan pangsa pasar oleh 1 perusahaan terbesar dalam suatu
industri. Koefisien CR-4 yang semakin kecil mencerminkan struktur yang semakin
bersaing sempurna. Pasar suatu industri dinyatakan berstruktur oligopolistik
apabila koefisien CR-4 melebihi 40%. Index Herfindahl juga mencerminkan derajat
penguasaan pasar dalam suatu industri dari tahun ke tahun. Apabila indeks itu
meningkat dari tahun ke tahun berarti pasar industri yang bersangkutan
cenderung berstruktur oligopoli, atau monopoli. Jika sebaliknya, berarti
struktur pasar mengarah ke persaingan sempurna.
Berdasarkan kriteria CR-4, struktur pasar
sektor industri di Indonesia pada umumnya oligopolistik. Pada tahun 1993, rasio
konsentrasi rata-rata sektor industri pengolahan adalah 50%. Dari 9 kelompok
industri menurut klasifikasi dua digit ISIC, 7 diantaranya berkoefisien CR-4
lebih dari 40%. Hanya industri tekstil, pakaian jadi dan kulit serta industri
kayu dan barang-barang dari kayu yang berkoefisien CR-4 dibawah 40%. CR-4
tertinggi ialah di bidang industri makanan, minuman dan tembakau, sebesar 67%.
Berarti 4 perusahaan terbesar dalam industri ini menguasai pangsa pasar sekitar
67%.
2.5.2 2.5.2
Sasaran dan Kebijaksanaan
Sasaran PJP II, sasaran pembangunan industri
pada akhir PJP II ialah terwujudnya sektor industri yang kuat dan maju sehingga
mampu menunjang terciptanya perekonomian yang mandiri dan andal. Melalui
rangkaian penataan struktur industri dan pemantapan proses industrialisasi,
pada akhir PJP II kelak sektor industri diproyeksikan dapat memberikan
sumbangan sekitar 32,5% dalam PDB, berdasarkan tingkat harga konstan tahun
1980/90. Selama era PJP II ini sektor industri diperkirakan mampu menyerap
sekitar 19 juta orang baru dari seluruh kesempatan kerja. Dengan demikian, pada
akhir PJP II nanti sektor industri akan merupakan lapangan kerja bagi 28,9 juta
orang.
Pemerintah menempuh serangkaian kebijaksanaan
pembangunan industri yang didasarkan pada empat macam strategi:
1. Pembangunan industri berpektrum luas yang berorientasi pada pasar internasional
2. Pembangunan industri dengan percepatan penguasaan teknologi
3. Pembangunan industri bertumpu pada mekanisme pasar dengan dunia usaha
sebagai pemeran utama
4. Pembangunan industri yang mengutamakan tercapainya pertumbuhan bersamaan
dengan pemerataan.
Titik berat strategi pembangunan industri
sekarang adalah pada pengembangan industri-industri berdaya saing kuat melalui
pemanfaatan keunggulan komparatif yang dimiliki, sekaligus secara bertahap
menciptakan keunggulan kompetitif yang dinamis. Secara garis besar,
kebijaksanaan industri terdiri atas upaya yang terpadu dan saling menunjang
dalam pengembangan iklim usaha dan investasi, peningkatan kemampuan industri
nasional, peningkatan kemampuan industri kecil dan menengah, perluasan
persebaran industri ke daerah-daerah, serta pemantapan perkembangan
industri-industri unggulan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sektor industri merupakan sebagai sektor yang
dapat memimpin sektor – sektor lain dalam sebuah perekonomian menuju kemajuan.
Maka industrialisasi dianggap sebagai cara untuk mengatasi masalah pembangunan
ekonomi di Indonesia. Hasil pembangunan paling nyata yang dapat dilihat di
negara – nagara maju dan kemudian banyak dijadikan cerminan pola pembangunan
oleh Indonesia adalah kadar keindustrian perekonomian yang dianggap merupakan
sumber kekayaan, kekuatan dan keadaan seimbang negara – negara maju. Atas dasar
itu. Tidaklah mengherankan jika Indonesia beranggapan bahwa pengembangan sektor
industri merupakan cara yang sangat ampuh untuk memperbaiki keadaan negara ini.
3.2 Saran
Sebenarnya kelancaran program industrialisasi
sebenarnya tergantung pada perbaikan – perbaikan di sektor lain, dan seberapa
jauh perbaikan – perbaikan yang dilakukan.
Dengan demikianlah kebijaksanaan yang ditempuh
dapat terwujud mekanisme yang saling mendukung antar sektor.
DAFTAR PUSTAKA
- Abimanya, Anggito. 1988. Minyak bumi dan bantuan luar negeri dalam perekonomian Indonesia. Yogyakarta: STIE YKPN
- Arief, Sritua. 1990. Dari prestasi pembangunan sampai ekonomi politik. Jakarta: Universitas Indonesia.
- Ardnt, Heinz W. 1993. Pembangunan dan pemerataan Indonesia di masa orde baru. Jakarta: LP3ES
Komentar